LDR
“Lindungi
prasangka aku dari hal-hal yang membuat luka nantinya” – Hati
Rasanya seperti jarak kita tinggal seperentang pelukan
Tapi tiba-tiba hujan,
dan kita takut kebasahan
Lalu memilih diam dalam kekecewaan
“Sama
halnya seperti uang, puisi punya nilainya sendiri, maka aku simpan puisi kecil
itu dalam dompet”.
Beranda
masih basah, hujan gerimis sedari tadi membuatku enggan pergi kemana pun. Ya,
saat seperti ini puisi-puisi itu aku buat. Imajinasiku melayang-layang,
mondar-mandir kesana-kemari dan aku tulis satu baris, dua baris, lalu sebut
saja ini sebuah puisi walaupun hanya kata-kata yang tetiba aku tulis saat
berimajinasi.
Karena kita
sudah tak satu kota, aku disini dan kamu di kota yang berbeda. Aku menunggu,
apa sudah sampai pesanku?
Begitu gaduhkah kotamu?
Sampai kau tak mendengar hati meneriakkan namamu
Mencoba
mengirim pesan seperti itu agar tetap romantis, tapi kamu belum juga
membalasnya. Setidaknya aku tak selalu bertanya sedang apa kamu disana, yang
membuat kita bosan selalu dengan percakapan yang sama.
Gelapkah disitu sayangku?
Hingga kau tak lihat rinduku berhamburan di langitmu
Seperti
inilah jika kita jauh aku rindu tapi kamu tak ada, pun ketika kamu rindu aku
yang tak ada. Bahkan bila saatnya tiba aku mencari aroma tubuhmu di bantalku,
tapi yang tercium adalah aroma rindu. Lalu terbiasa, tak ada kamu.
***
Beranda
masih basah, padahal sudah mulai petang. Senja makin kelabu, kamu belum juga
membalas puisi-puisiku. Kemanakah kamu?.
Sayang, apa warna senjamu?
Hangatkah layaknya sapamu?
atau
dinginkah seperti gigil rindu?
Aku mulai
kesal dan kamu tak juga membalas semua puisiku. Ini yang aku enggan rasakan
dari hubungan jauh ini, aku cemburu, bahkan pada apapun yang menyita waktumu.
Sial, aku
makin cemburu.
Hari kian tua
Kau masih sibuk saja
Padahal aku ingin menikmati senja berdua
Sudahlah.
Apakah cemburu itu perlu? Atau rindu yang terlalu pilu sampai segala sesutau
menjadi masalah untukku, hingga aku terlalu mengawasimu. Mencemburuimu yang tak
melakukan sesuatu.
0 komentar:
Posting Komentar