Tanpa Pemanis Buatan
"Mulailah menghitung, karena waktu bisa saja
jahat; mengambil semua kebahagiaan yang tak pernah kau syukuri"
Aku sudah
selayaknya harus bersyukur, mempunyai banyak teman bukanlah hal gampang apalagi
menjaganya agar tetap baik. Mungkin banyak yang bilang; tak ada teman sejati di
dunia ini yang ada hanyalah kepentingan. Itu memang benar, tapi bagiku punya banyak
teman sampai saat ini karena selalu punya banyak kepentingan.
Sore
itu aku menunggunya di sebuah masjid, dia Ahmad teman sekelasku selagi SMA.
Rumahnya cukup jauh, di Kramat Jati sedangkan aku menunggunya di Senayan.
Hingga akhirnya dia dating dan menghampiriku.
“Oy” dia memanggilku yang saat itu sedang rebahan di dalam
masjid.
“Nyampe juga lo, jauh ga Kramat Jati – Senayan?”
“Lumayan jauhlah, anjir mana panas banget. Nyari makan yuk?”
Ahmad mengajakku.
Akhirnya
kami berdua keluar masjid dan membeli makan hingga akhirnya perut tak lagi berbicara
minta diisi. Aku sebenarnya minta ditemani Ahmad ke sebuah acara tahunan di Senayan,
Jakcloth namanya. Itu pertama kalinya aku akan mengunjungi acara ini, begitu
pula Ahmad.
Terus
terang saja, aku tak tahu tepatnya di sebelah mana Jakcloth berlangsung sampai
akhirnya harus mengelilingi Gelora Bung Karno. Terus berjalan membuat kami
lelah. Akhirnya kami duduk sambil menghisap rokok dan melihat banyak orang yang
olah raga di tempat itu. Oh iya, aku bukanlah orang asli Jakarta dan Ahmad
orang Jakarta tapi tak tahu banyak tempat. Sampai akhirnya kami berdua tertipu oleh
tiga orang yang tampang dan gaya bicaranya seperti mahasiwa. Aku dan Ahmad
sengaja dipisahkan, aku dibawa oleh salah seorang penipu itu ke sebuah jalan di
dekat Senayan Residence. Dan Ahmad sendirian di GBK. Barang-barang berharga kami
raib, yang tersisa hanya tas tanpa isi apapun.
Ah!
Sial sekali hari itu. Dengan segala kecemasan akan Temanku, akhirnya aku lari
menuju GBK. Saat itu sudah malam, gelap membuatku bingung aku harus berlari kea
rah mana. Semua jalan terlihat sama. Aku beranikan diri lari ke arah yang tak tau
kemana tujuannya. Aku berkeringat, tapi itu membuatu yakin aku bukan ke arah yang
salah. Dan sampailah aku di GBK.
Aku
kembali bingung, harus kemana aku mencari Ahmad. Dia tak ada disini lagi, di
tempat saat kami ditipu oleh para bajingan itu. “Huuuuh” helaan nafas yang
membuatku kian lelah, yang membuatku sempat putus asa. Aku tak tahu bagaimana
caranya pulang, uang dan barang lainnya tak ada. “Ju…!!!” Tiba-tiba seorang
memanggilku dengan suara yang samar. “Itu Ahmad!” dalam hatiku, ketika aku
berbalik ke arah suara itu. Dalam pikiranku “Aku tak lagi sendiri, ada Ahmad.
Setidaknya aku bisa cari jalan pulang atau diam disini bersama dia”
“Lo tadi dibawa kemana?” Ahmad bertanya dengan nada yang
biasa saja.
“Gue dibawa ke jalan… Ah! Gue gak tau apa nama jalannya. Pokoknya
deket Senayan Residence deh!”
“Wah brengsek, sengaja tuh penipu misahin kita!” Ahmad mulai
bernada kesal.
“Mad, barang-barang kita… Itu hp gimana? Duit?”
“Ah udah biarin, ikhlasin aja. Kita emang jarang sedekah
kali… Makanya barang kita diambil orang. Sekarang kita ke masjid, solat dulu
biar hati kita tenang. Kita pasti bisa pulang kok Ju..” Ahmad mulai menenangkan
aku yang belum rela kehilangan.
Setelah
solat dan berdoa, aku dan Ahmad pergi mencari kantor polisi terdekat untuk
melaporkan apa yang sudah terjadi pada kami. Aku menyesal pergi ke tempat ini,
mengajak Ahmad yang seharusnya tak perlu. Mungkin jika aku tak mengajaknya dia
tak akan kehilangan apapun.
Aku mengerutu
karena kejadian itu. Jakcloth yang seharusnya membuatku senang malah menjadi bumerang.
Bahkan aku jadi benci, apalagi ketika aku dan Ahmad berjalan melewati acara
Jakcloth itu.
“Ah sialan banget tuh penipu! Gue harusnya lagi belanja tuh
di dalem”
“Udah Ju, ikhlas. Mending kita do’ain aja semoga kita jadi
korban terakhir yang ditipu sama mereka”
Apa
yang dikatan Ahmad membuat aku jadi berpikir, betapa kehilangan tak akan
mengakhiri segalanya dan cukup ikhlaskan saja jika mencari memang tak ada
hasilnya. Lama berjalan, akhirnya kami tiba di kantor polisi. Dengan lelah akau
menceritakan semuanya kepada polisi dan aku berharap segera ditindak agar tak ada
korban yang lainnya lagi. Lalu dengan segala kerendahan hati polisi itu, dia
memberi kami sedikit uang untuk ongkos pulang, dua puluh ribu rupiah. Betapa
aku bersyukur uang sejumlah itu bisa aku pegang, padahal aku baru saja
kehilangan lebih dari itu. Ah sudahlah, setidaknya aku dan Ahmad bisa pulang ke
Kramat Jati.
Sebelum
pulang kami membeli rokok dan menghisapnya hingga kopaja berhenti tepat di
depan kami. Akhirnya kami naik, duduk di bangku paling belakang. Aku sudah tak
merasa lagi kehilangan, aku menjadi lebih ikhlas dan tenang. Setidaknya aku
masih bisa pulang.
“Sehebat apapun seseorang hanya orang yang berjiwa besarlah
yang mampu tersenyum ketika dia mendapat sebuah musibah atau masalah” Dengan
polosnya Ahmad berbicara.
Kata-kata
itu sungguh manis, aku tak mengerti mengapa Ahmad berbicara seperti itu.
Padahal aku bukanlah orang yang besar atau hebat. Tapi aku belajar dari kata
manis itu, hebat tak selalu berbuat hal besar. Ikhlas menurutku hebat. Dan
kata-kata Ahmad itu manis, apalagi disaat aku bersamanya mengalami sebuah
masalah.
Betapa
aku bersyukur aku masih mempunyai teman sebaik itu. Dan aku bersyukur mempunyai
teman tanpa pemanis buatan.
0 komentar:
Posting Komentar