Move On
“Mungkin aku pikir seperti ini: kenangan itu
seperti tempat wisata, menarik untuk dikunjungi tapi tidak tepat untuk menetap”
Apa yang
seharusnya aku lakukan sebagai wanita bila patah hati? Lari ke lain hati
sebagai pelampiasan? Ah, itu sempat aku pikirkan, tapi tak secepat dan semudah
itu. Aku lebih senang menenangkan hati dengan diam di kamar, mendengarkan
lagu-lagu melankolis tentang patah hati, menyendiri.
Tiba-tiba aku
jadi enggan membuka diri, jadi enggan bercerita tentang ini pada orang lain walau
hanya sekedar minta saran atau membuatnya menjadi lebih ringan. Aku ingin
terlihat biasa saja, seolah tak merasakan apa-apa. Tapi, aku baru saja
kehilangan cinta.
Alvin, pacarku
yang hanya sampai malam itu. Padahal hampir delapan bulan aku melewati segalanya
bersama dia. Dulu yang aku inginkan dari dia adalah kenyamannya yang mampu
meneduhkan segala aduh. Sampai akhirnya apa yang aku pikirkan bertingkah lebih
keras daripada yang aku rasakan. Apa yang aku inginkan harusnya aku butuhkan.
Semua berawal ketika
aku dan Alvin bukannya mempelajari atau memahami, tapi malah saling membela
hati. Lalu ego tak bisa diajak kompromi, suara yang mendadak tinggi dan telinga
yang ditulikan karena mulut berucap tak mau berhenti.
“Cinta aku ke
kamu itu urusan aku!” Maka Alvin mengejutkanku ketika kami berdua saling
meninggikan suara. Aku tak peduli, seolah tak mendengarkannya. Yang ada dalam
benakku saat itu hanya ingat, bila aku mencinta maka aku bisa membenci. Semua
ucapan Alvin berlalu begitu saja.
“Ah sudahlah,
kamu memang susah untuk membicarakan kita. Mulai saat ini engga ada tanggal
yang kita rayakan bersama dan segala hal yang kita lakukan bersama. Aku capek”
Itu menurutku mengakhiri segalanya tentang aku dan Alvin. Aku enggan
melepasnya, melepas semua ini. Padahal yang aku inginkan dia merendahkan
suaranya, mengalah, memahami aku, memeluk aku dan semuanya menjadi baik.
Secepat itu aku meras menjadi sangat bodoh, aku diam membiarkan semuanya
berlalu dengan leluasa. Kenapa aku tak mempertahankannya? Padahal dulu dia yang
paling banyak berkeringat mempertahankan aku dan ceritanya denganku. Aku kalah
oleh egoku sendiri. Dan bersama tatapanku yang nanar bahkan hampir menangis,
aku melepaskannya, lalu Alvin berlalu.
Maka sejak saat
itu aku merasa sakit, ada yang hilang separuh dari aku. Aku terluka, padahal
aku sendiri yang memulainya. Aku juga harus mengobati sakitku sendiri, itu
pasti lama. Ingatanku tak bisa dikendalikan, semua selalu tentang Alvin,
tentang aku dengannya. Kehilangan dia tak membuatku tabah, malah hanya
membuatku ahli menyembunyikannya.
***
Sekarang, semua
sudah cukup lama tanpa Alvin. Aku harus mengendalikan hati agar semuanya normal
seperti biasa. Maka saat itu Rangga datang, dengan sejuta perhatiannya bagiku. Aku
tahu maksudnya apa, maka aku anggap perhatian Rangga biasa saja. Tetap saja
semua belum terbiasa dengan adanya laki-laki lain, tiba-tiba aku rindu Alvin.
Selama Alvin tak
ada, aku ingin mengingatnya dengan cara bahagia dan menyenangkan. Aku masih saja
sedih, padahal tak seharusnya aku mengkambinghitamkan cinta atas segala perih.
Karena bagiku, itu salahku dan ego yang aku pilih.
Rangga, dia membuatku
nyaman walaupun hanya sebatas berbincang-bincang. Dia tak pernah melibatkan
cinta dalam tiap ucapannya, padahal aku tahu dia ingin mengobati segala luka
hatiku. Dan aku mulai terbiasa dengannya. Hingga akhirnya aku paham betul,
hidup tak selalu tentang masa lalu.
Barangkali waktu
adalah hal paling puitis yang Rangga punya, ketika dia berusaha menjauhkan aku
dari masa lalu dan tunggu menjadi upayanya untukku. Tapi aku tak juga cinta dan
aku tak bisa pura-pura. “Disa, aku engga mau membuat ini terlalu lama. Apa kamu
punya perasaan yang sama?”. Sontak,
ucapan itu membuatku diam. Maka ingatan-ingatan masa lalu itu hadir lagi
bahkan lebih terang dari biasanya. Entah kenapa aku jadi seperti ini. “Perasaan
apa?” nada-nada seolah bingung terucap dari mulutku. “Aku sayang kamu Disa”
suara lelaki yang penuh perhatian itu pun mengisi penuh gendang-gendang
telingaku. Aku tak juga menjawab.
“Disa, jika kamu
tak tahu caranya memulai. Maka belajarlah cara menyelesaikan, masa lalumu itu.
Karena menyelesaikan adalah sematang-matangnya mulai. Maka mulailah denganku”.
Betapa kata-kata itu aku pikirkan. Benar apa kata Rangga, aku hanya perlu
menyelesaikannya.
Apa mungkin
Rangga belum mengerti jika aku masih ingin sendiri. Setidaknya sampai
kenangan-kenangan itu pergi. Rasa sakit itu masih ada, perihnya masih terasa
dan aku ingin mengobatinya sendiri. Kenangan-kenangan itu tetap indah walaupun
aku tak selamanya aku disana. Menyelesaikannya bukan berarti aku akhiri dengan memulai
yang baru dengan yang lain. Aku ingin kebiasaanku sendiri, tanpa cinta sementara
biar dulu hati ini lega.
“Rangga, aku
engga bisa. Aku tak punya cukup alasan untuk memulainya denganmu. Biar aku
selesaikan ini dulu” Aku menolaknya. Aku dan hatiku perlu waktu. Merapihkan
hati, tak semudah menyusun kembali buku-buku yang berantakan. Biar saja
kenangan itu tetap indah, agar aku bisa berkunjung kesana. Maka sekarang aku
akan menyelesaikan dan memulainya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar