Janji itu ada dua...
“Janji
itu ada dua; 1. Untuk ditepati 2. Untuk menenangkan”
Pagi itu aku baru
saja bangun, membuka mata dan mendapati stabilitas nama pada degup yang sama.
Matahari menyapa hangat kulit, padahal aku belum juga beranjak dari tempat
tidur. Suara ombak kecil membuatku penasaran ada keindahan apa yang akan aku
dapat pagi ini, di pantai Senggigi.
Semalam, waktu
menjejak detik-detik menuju akhir hari. Melelapkan seluruh euphoria kesedihan,
kebahagiaan dan kecemasan. Karena aku yakin pagi ini masih ada matahari
walaupun kekasihku masih saja tidur lelap. Aku semakin menikmati pagi, menikmati
wajah cantik yang mulai disapa cahaya matahari. Membuat tubuhnya menggeliat,
perlahan membuka mata, lalu aku mendapatinya terbangun dari tidurnya.
“Selamat pagi sayang” Aku
menghampiri dan duduk di tepian tempat tidur.
“Pagi juga sayang, kamu bangun dari
tadi?” Kekasihku bertanya sembari mereganggkan tangannya.
“Baru aja kok sayang, ini juga
belum cuci muka” Aku mengelus lembut rambut yang berurai disekitaran keningnya.
“Ih joroooook”
Aku tersenyum
menatap wajahnya, sebut saja dia Jani. Lalu aku beranjak ke kamar mandi, membasuh
muka. Mukaku terlihat menjadi sedikit kacau, aku melihatnya di cermin. “Kenapa
aku harus melakukan ini?” kata hatiku. Aku enggan menamainya ini muka penyesalan,
toh semuanya sudah terjadi. Lupakan, lalu aku kembali.
Jani masih setia
di tempat tidur, sambil menatap ke arah jendela.
“Mau sarapan apa sayang pagi ini?”
Jani menatap ke arahku.
“Aku belum lapeeeeer” Dengan manja
Jani menjawabnya sambil meraih tanganku.
“Aku pengen sarapan pagi ini dengan
obrolan-obrolan kecil bareng kamu” Jani tersenyum.
Ah, betapa aku
menyukai senyuman Jani yang ranum. Pagi yang membuatku kenyang tiba-tiba,
bahkan tanpa sarapan roti atau sekadar minum teh. Lalu aku mengangguk sambil
senyum tanda mengiyakan apa yang Jani minta. Jani tidur di pahaku.
“Akut takut….” Jani mulai mengawali
sarapan obrolan pagi ini.
“Kamu takut kenapa?”
“Aku takut kamu ninggalin aku”
Apa
yang Jani katakan membuatku sedikit terhentak, aku teringat ketika membasuh
muka tadi.
“Aku sayang kamu, tenang aja aku
engga akan tinggalin kamu kok”
“Janji?”
“Iya sayang, aku janji…. Aku minta
maaf, harusnya ini engga terjadi” Akhirnya nada penyesalanku terdengar Jani.
“Hussttt, kamu jangan nyesel.
Mungkin awalnya aku ragu buat kita kayak gini. Tapi aku membiarkannya berlalu
aja. Dan aku meyakini semoga kamu engga akan ninggalin aku” Jani memegang erat
tanganku.
“Soal keperawananku, aku ikhlaskan
asal kamu engga akan pergi ninggalin aku. Karena selain itu, demi tuhan aku
engga akan pernah rela” Lanjut Jani sambil menatap mataku, seperti
menyudutkanku.
Aku
terdiam, naluriku sebagai pria seperti enggan menolongku untuk menjawab apa
yang Jani katakan. Mungkin untuk saat ini aku tak lagi merasa menyesal. Dan
secepat itu aku semakin mencintainya. Ah, hasrat lebih besar dari pada harkat.
Nuraniku sebagai laki-laki dengan tenang mulai berkata.
“Aku engga akan pergi, aku janji.
Semoga ini menenangkanmu dan bantu aku untuk menepatinya. Aku sayang kamu” Lalu
aku mencium keningnya.
Tiba-tiba
ada yang menyerang pikiranku, demi apapun dan meski Jani tak hamil aku harus bertanggung
jawab atasa apa yang aku nikmati dari dirinya. Masa depan masih bias, tapi aku
harus membuatnya terlihat jelas. Minimal aku janji tak meninggalkannya atau
bahkan menikahinya ketika nanti aku layak.
Matahari
mulai meninggi, bayangan tak ditempatnya semula. Sinarnya yang hangat menyentuh
punggungku. Aku masih berkemelut pada apa yang aku inginkan sendiri. Lalu aku
mulai sadar, ini bukan tentang janji tapi ini perihal keikhlasan. Bila Jani
saja mampu mengikhlaskan, mengapa aku harus punya alasan untuk tidak ikhlas menepati
janjiku. Aku mencintainya, walau cinta tak pernah cukup untuk segalanya dan aku
tahu kehidupan seterusnya nanti tak akan seramah itu.
“Sayang, kenapa kamu diem?” Jani
membuyarkan pikiranku.
“Udah jangan dipikirin kalo kamu
emang komitmen, ini ga akan berat” Lanjut Jani.
“Iya sayang, aku cuma laper nih…. Hihi”
“Huuuu, aku kira kamu kenyang
dengan obrolan kayak gini” Jani mencubit
perutku.
Kami
pun tertawa ringan, membuat pagi yang tenang menjadi nyaring.
Sebetulnya
kamu belum juga berpakaian, aku masih telanjang badan dan hanya memakai celana
pendek. Bahkan Jani tanpa pakaian, dia hanya dibalut selimut hotel yang tak
setebal selimut dikamarnya atau di kamarku.
“Aku cari sarapan dulu ya sayang,
kamu mau sarapan apa?” Aku bertanya, sambil memainkan rambut Jani.
“Mmmm aku pengen roti tapi tanpa
banya selai dan cinta tanpa kebanyakan teori hehehe”
“Gombaaaaal” Aku mencubit pipinya.
Dengan
tubuh yang masih dibalut selimut Jani merebahkan tubuhnya kembali di tempat tidur.
Dan aku mulai berpakaian, betapa berantakan kamar saat itu. Pakaian bukan lagi
ditempatnya, kemejaku di lantai. Bahkan pakaian dalam Jani di atas meja. Aku
sebut saat itu pagi yang indah namun berantakan.
“Aku cari sarapan dulu ya” Kataku
kepada Jani.
“Sayang! Rapatkan kancing kemeja
kamu, musim begini paru-paru gampang dimasuki angin, juga cinta yang lain” Jani
mengingatkanku.
Lalu
aku tersenyum, mengancingkan kancing kemeja yang tadi sempat terbuka. “Tak ada masa
lain, hanya saat ini disini. Di dalammu dan di dalam keihklasanmu,
sebaik-baiknya waktu” Kata hatiku. Lalu pagi yang indah dan berantakan itu
berlalu.
0 komentar:
Posting Komentar