Aku Menyebutnya, Bohong.

“Petang yang kebingungan, langit heran; kenapa perempuan lebih ahli menyimpan rahasia”

                Perjalan pulang saat itu terasa berbeda, seperti ada sesuatu yang ingin cepat aku ketahui sesampainya di rumah. Mobil yang aku tumpangi terasa lambat, lelah menambah perjalanan membuatku semakin penat. Rasanya aku ingin melompat dari mobil, lalu tergeletak di jalanan. Ah, aku ingin segera sampai.
                Setengah perjalanan aku tertidur. Lalu aku terbangun dan aku kira sudah hampir sampai, ternyata perjalanan masih saja panjang membuatku makin lelah. Badanku pegal, kepalaku pening dan keringat yang membuat kaus yang kupakai terlihat basah. Aku ingin sekali dipijat oleh seseorang yang aku sayangi, pacarku.
                Ah pacarku, aku merasa ada sesuatu yang tidak aku tahu dari dia. Semua aku rasa makin parah, rindu pacar, rindu ibu bapak dan kakakku. Aku rindu rumah tak seperti biasanya. Sayup-sayup lagu melankolis tidak lagi menenangkanku, semua terasa gaduh.
***
                Aroma yang aku rindukan akhirnya tercium, aroma pewangi ruangan di kamarku. Akhirnya aku sampai di rumah. Aku hanya pergi lima hari, maka pantas saja tak perlu sambutan serupa makanan lezat atau minuman spesial. Yang pasti aku sudah sampai pada semua yang aku rindukan, kecuali pacarku. Aku ingin segera bertemu dengannya, mungkin esok harinya.
                Ternyata rindu tak bisa diajak kompromi. Akhirnya aku menghubungi dia. Entah kenapa dering di telepon terdengar sumbang.
“Halo”. Akhirnya suara yang aku rindukan, mampir di gendang-gendang telingaku.
“Halo sayang” Suaraku masih lelah.
“Kamu udah sampai rumah?”
“Iya sayang, baru saja aku sampai nih”
                Aku belum melanjtukan bicara, ada yang berbeda. Nada suara yang aku dengar tak seperti biasanya, aku merasa ada yang dia sembunyikan.
“Kamu bohong ya?” Tanyaku.
“Bohong apa?” Dia heran.
“Menurut kamu apa yang sembunyikan dari aku?”
“Enggak ada, kok kamu nuduh aku gitu sih?”
“Nada bicaramu berbeda, bicaralah jangan menutupi seolah tak ada apa-apa” Aku mulai menyudutkannya.
“Aku udah bilang jujur, sumpah!” Nada bicaranya meninggi.
“Apa aku harus yakin dengan sumpahmu?”
                Pacarku diam, mungkin dia mulai benar-benat tersudut. Dan saat itu aku berharap dia mengatakan yang sebenarnya.
“Kok diam? Ayo bicaralah” Aku mulai benada tinggi, walaupun menahan emosi dan temperamenku.
“Aku enggak bohong apa-apa!”
“Terus, kalo ada lelaki yang meminta nomor handphone-mu, itu siapa?”
“Kamu tahu darimana?” Pacarku heran.
“Aku tahu banyak hal, jujur saja aku enggak akan marah sayang”
“Iya aku menyembunyikan itu” Dia menjawab dengan nada lirih.
“Apa kamu perlu bersumpah? Jujur saja, aku tak akan marah”
                Lalu yang terdengar hanya helaan nafas dan dia menangis.
                Akhirnya dia jujur, aku bisa mengetahuinya dari mana saja. Dan ternyata yang membuatku gelisah sepanjang perjalan hanyalah sebuah kebohongan. Aku sempat berpikir pulangku hanya sia-sia. Betapa wanita ahli menyimpan rahasia, atau aku menyebutnya bohong.


Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar