Gerimis Senja



Duduklah, mari istirahat sebentar. Sambil kuceritakan satu kisah padamu, tentang seseorang yang lupa merasa, bahwa gerimis adalah penyesalan luar biasa yang harus dia tanggung, tentang pengorbanan dan pengabaian yang menjadi alasannya berkabung. Meski akhirnya ada yang harus dia hadapi, bahwa dia dan sepi jatuh hati. Ada begitu banyak jauh yang sulit dia tempuh, seperti cinta yang tak lagi ingin bersauh. Ada hal yang tidak dapat dia elak, cinta yang begitu dalam sepertinya akan membuat tenggelam. Mungkin seperti yang pernah kamu alami, kamu pernah mencintai dan akhirnya tenggelam lalu kehilangan diri sendiri.


***


Namanya Luna, dan aku pernah berpikir bahwa dia masih awam tentang jatuh cinta. Padahal baginya mencintai adalah kepastian, walau pun dia hanyut dalam kepurnaan. Memang tak mudah bagi Luna untuk terus terpisah jauh bersama kekasihnya. Tapi ini bukan perkara jarak, ini perkara dia yang tidak sama lagi berjejak.

Banyak purnama yang Luna lalui hanya untuk menyampaikan beberapa hal yang mesti kekasihnya ketahui, tentang segala cinta dan rindu yang beranak-pinak dalam hati. Jarak yang terpisah milyaran langkah, segala sarana telah dia untuk melampiaskan rindu namun percuma, tak ada yang bisa menandingi betapa besar makna hadir. Kalah telak sudah pasti, namun Luna selalu mengingat ada sebuah ikatan yang dia letakkan tinggi, bahkan egonya sengaja dibiarkan mati

Luna sadar sekali bahwa pada awalnya jatuh cinta itu tidaklah sakit, sebab hanya tindakan pribadi, keinginan memiliki dan dicintai lah yang berpotensi melukai. Sayangnya, dia merasakan keduanya, tidak ada yang biasa sejak jarak dan makna hadir mengisi kepalanya. Ini bahaya bagi dia yang mulai lupa caranya merasa atau letih merasa.

Pada suatu gerimis, Luna memilih diam, padahal isi kepalanya sudah amat penuh antara cinta dan rindu tak berbanding lurus dengan jarak. Kamu mungkin mengerti rasanya menahan diri ketika kepalamu penuh lalu sakitnya pindah ke dada. Tapi lagi-lagi, beberapa hal memang sebaiknya dibiarkan berlalu begitu saja. Kamu mungkin bertanya bagaimana Luna? Lalu kekasihnya? Kekasih Luna ada dihadapannya pada gerimis itu. Jika aku sebagai kekasihnya dan kamu sebagai Luna. Barangkali memang cukup seperti ini, cukup untuk kita sama-sama sadar bahwa kita saling membutuhkan. Aku membutuhkanmu lebih dari sekadar tubuh, aku membutuhkanmu yang tabah menyikapiku. Itu saja cukup, bagiku. Bagi laki-laki yang Luna cintai itu.


***


Di luar masih gerimis, pun kisah ini belum habis. Kamu belum bosan kan? Sebentar, aku buatkan teh biar hangat tubuh kita, sementara biarkan gerimis dalam cerita.

Ini, minumlah dulu tehnya. Sebelum kulanjutkan kisahnya aku ingin bertanya. Saat gerimis seperti ini lagu apa yang kamu suka? Aku lebih suka Desember-nya Efek Rumah Kaca. Aku putar ya, sambil melanjutkan kisahnya.


***


Satu tahun yang lalu Luna bersama kekasihnya berdiri di antara keramaian stasiun. Saat itu mereka sama-sama hening, ada kecemasan yang terasa dalam hati masing-masing namun merka alihkan dengan memandang orang-orang asing. Sementara kereta nyaris datang.

Mereka sama-sama tahu bahwa ada ketakutan yang mereka rasakan, tentang bagaimana menyikapi jarak yang sebentar lagi akan meruak. Tentang perpisahan yang hadir di saat yang tidak tepat, tapi memang begitulah, tidak pernah ada persiapan yang baik dalam menyikapi kepergian. Luna ketakutan, takut bahwa jarak yang begitu jauh akan mengakibatkan cinta mereka runtuh. Kekasihnya memeluk Luna erat karena sejatinya tidak ada rasa yang dapat dihantarkan lebih baik daripada pelukan.

Gerimis membahasi peron dan membahasi kepala Luna dengan banyak pertanyaan, kepalanya mulai rumit tapi Luna mampu menerjemahkannya. Cukup semarak cerita yang mereka bagi, tentang malam dan bintang-bintang pemalu, tentang keterasingan mereka pada masa lalu. Masa yang tak pernah mampu mereka tuju tapi pahitnya masih jelas mereka rasa. Seluruh isi kepala mereka yang bahkan belum sepenuhnya mereka jelajahi dan mereka tak pernah tahu apa yang mereka mau.

Pelukan erat mulai terpisah, genggam tangan mulai lepas. Gemuruh suara lokomotif menggetarkan hati mereka. Kekasih Luna mulai tak terlihat di antara orang-orang asing hingga kereta pun berlalu. Dan pada gerimis Luna menangis.

Itu adalah tangisan terakhir Luna untuk kekasihnya yang kembali pergi menjejak jarak. Luna memutuskan untuk tak berteman baik dengan jarak yang membuatnya rapuh. Dan Luna tersadar bahwa makna hadir teramat penting baginya ketimbang merawat cinta yang telah dia tanam dan mengakar di halaman hatinya.


***

Tak ada yang bisa menduga, waktu itu pelukan mereka jadikan upacara penyerahan hati bersampul percaya untuk dititipkan satu sama lain. Kekasih Luna hanya berharap dua hal; waktu berhenti atau keretanya batal pergi. Harapannya patah seketika. Kereta tiba. Pelukan mereka lepas pelan-pelan. Pelukan terakhir kali karena setelahnya jarak mereka bertambah, bahkan berpisah.

Lewat pelukan terakhir itu mereka saling mengembalikan hati masing-masing saat perpisahan. Kemudian saling menguatkan diri bahwa mereka bisa dan biasa melewati segalanya sendiri, meyakinkan diri bahwa mereka sudah semestinya bahagia namun tidak bersama. Tapi nyatanya? Mereka tidak pernah melakukan apa-apa untuk kebersamaan yang dulu adalah segalanya. Sirna, hingga kini yang tersisa adalah tiada.

Mungkin perpisahan ini buah dari kelalaian mereka, mereka begitu mudahnya melepas satu sama lain dan sekarang mereka menyadari bahwa mereka telah melepaskan diri masing-masing. Sulit memang berpisah dengan diri sendiri. Hanya gelap, kehilangan arah, tak tahu kemana harus melangkah. Cinta yang membuat mereka tenggelam kehilangan diri sendiri.

Perasaan Luna telah berganti, memang cinta selalu menemukan rumahnya sendiri tanpa perlu mereka pandu. Jika memang begitu, mereka saling melepas dalam haru. Mereka akan selalu mengingat gerimis saat senja, meski bibir terhujani air mata. Jika memang itu yang mereka bisa, mereka akan mengenang dalam batas senja.


***


Beranda masih basah meski gerimis sudah reda, teh sudah habis. Aroma tanah basah akan menyejukkan senja kita. Apa kamu akan segera pergi? Bisakah kamu temani aku sebentar saja?

Aku hanya ingin mengenang bagaimana aku memulai tanpa perlu berpikir aku mengakhirinya di tempat yang sama. Dan naasnya, aku tetap ada di sini, di tempat suka dan duka menyatu, lebur bersama tawa. Aku terlalu sedih untuk mengingat kesedihan dan terlalu bahagia untuk mengingat kebahagiaan makanya aku memilih tertawa saja menyikapi semuanya. 

Aku masih di tempat ini untuk mengenang mereka, mengenang janji yang kini rupanya telah hanyut ke bersama hujan. Dan aku akan tetap di sini, entah sampai kapan untuk menjaga kenangan ini agar tidak hilang hingga nanti aku memilih untuk menghanyutkan atau melupakan. Setelah semuanya berakhir, jarak inilah yang tidak pernah absen untuk hadir. Mungkin jarak ini yang mampu aku jaga, agar kamu dapat bahagia. Jika nanti kamu kembali, semoga itu karena aku adalah tujuan yang kamu cari, tulang rusukmu yang asli. Meski aku tidak tahu aku tulang rusukmu yang asli atau palsu tapi jika kita bertemu lagi semoga bukan sebagai orang yang tidak saling mengenali.

Untukmu? Bukan. Ini untuk Luna, mantan kekasihku.

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar