Dia; Antara Tiga Milyar Dua Puluh Satu

Sudah jangan ke Jatinangor
Ia sudah ada yang punya
Lebih baik diam disini
Temani aa bernyanyi disini

Demi cinta engkau berikan
Buku-buku dan cinderamata
Demi cinta engkau praktekan
Buku taktik menguasai wanita
......

Pada Senin yang teduh Tuhan menyaksikan Raka yang bersiap-siap berangkat untuk menemui perempuan tercintanya. Kantung mata yang menyimpan lelah dan kantuk nampak jelas terlihat. Ketidaksabarannya membuat Raka tak tidur semalaman.

Ini adalah hari ke lima belas sejak ulang tahun Amoy, tapi Raka memilih hari ini untuk mengantarkan kado ulang tahun langsung pada Amoy. Dengan alasan yang memberi kado terakhir tak akan terlupakan, walau nyatanya yang pertama akan selalu diingat. Dalam benak Raka tak peduli siapa yang pertama atau yang terakhir, yang dia tahu hanyalah berusaha sebagaimana mestinya. Tentu, dengan sisi nurani Raka sebagai laki-laki yang berusaha romantis dan puitis dia menyelipkan surat diantara bungkusan kado yang sangat apik, “Aku tak akan pernah lupa ulang tahunmu – Raka”. Kado dan surat yang dipersiapkan di tengah kesibukkan Raka yang cukup banyak, dia berharap semoga dapat menajdi pengingat bahwa Amoy masih istimewa bagi Raka.

Jatinangor, belum juga separuh perjalanan yang ditempuh, Raka merenungi banyak hal tentang perempuan pujaannya dan tentang egonya yang ingin memiliki Amoy. Bagi Raka ini bukan tentang jarak jauh yang harus ia tempuh, tapi ini tentang perjalanan yang telah membawanya ke tahap – mencintai dengan ikhlas – ini. Adalah sebuah syukur bagi Raka karena masih mempunyai perasaan yang sama, menaruh hati pada perempuan pujaannya.

Dan tentu saja, dulu saat pertama kali Raka melihat Amoy, ada bejana air yang ingin disentuh permukaan agar beriak. Semacam saling ketertarikan antara Raka dan Amoy. Mereka berusaha saling menyentuh satu sama lain tapi tak ada yang mampu. Mungkin juga mereka ragu-ragu, takut hati mereka jatuh begitu dalam dan tak ada yang menangkap.

Tapi sampai hari ini Raka dan Amoy adalah orang asing. Entah waktu atau entah keduanya tak mampu menyikapi keberadaan masing-masing hingga akhirnya segalanya berlalu – bahkan tanpa tegur sapa – begitu saja. Dan hari ini Raka bersepakat dengan hatinya sendiri menentukan kapan harus dimulai.

Renungan Raka dibuyarkan oleh kondektur bus yang menagih ongkos. Raka merogoh kantong celananya dan mengeluarkan dua puluh lima ribu. Jarak Sukabumi – Jatinangor memanglah jauh. Bus yang raka tumpangi hanya sampai Terminal Leuwipanjang, Bandung. Dan untuk mencapai Jatinangor Raka harus menumpangi bus DAMRI dari terminal. Ditambah lagi bus yang saat ini ditumpangi melaju begitu lambat. Itu karena penumpang bus tak penuh dan Raka sadar bahwa di bus itu sepi, hanya tujuh atau sembilan orang penumpang. Walau pun perjalanan membosankan, tapi dengan mengingat Amoy bisa menghilangkan kejenuhan.

Seperti saat awal bus ini melaju, Raka kembali merenungi tentangnya dan Amoy. Sejak butir-butir cinta ikut berputar bersama jentera hati Raka dan Amoy, barangkali memang ada beberapa hal yang sengaja dibiarkan mengendap untuk menjaga perasaan atau hal-hal yang mereka tidak persiapkan. Saling jatuh cinta.

Bagi Raka separuh petualangannya adalah tentang Amoy, dan separuh sisanya lagi adalah tentang dirinya yang mencintai Amoy. Bahkan petualangan Raka nyaris tak dihiasi kabar dari Amoy. Ya, semenjak mereka jarak karena kuliah. Raka di Depok dan Amoy jauh di Jatinangor. Tapi bagi Raka, ini bukan tentang petualangan jarak jauh, tapi ini tentang petualangan hati melibihi jarak Sukabumi – Jatinangor. Sebab baginya, selain nafas, ada tentang Amoy yang tak dapat lepas.

Dan akhirnya, tibalah Raka di Kota Bandung meski harus naik bus – DAMRI – lagi  untuk melanjutkan kembali perjalanan menuju Jatinangor. Raut wajah pasrah nampak jelas ketika dia mendapati bus yang tak ada pendinginnya dan dia harus siap merasakan panasnya udara dalam bus itu. Tapi, ingatan tentang Amoy menyejukkannya.


***

“Joy tau kost-annya Amoy ga?”

“Duh, ga tau euy. Ajak ketemuan aja sih

“Pengennya gitu, tapi kan udah lama ga ngehubungin dia Joy”

“Udah deh chat aja Amoynya, pasti mau kok”

Emm… Iya deh, nuhun Joy”

Raka menutup telepon.

Dan tak ada yang ingin Raka selesaikan hari ini selain bertemu Amoy dan memberikan kado ulang tahun. Tak ada yang akan tamat, sebab Raka menginginkan Amoy lebih dari petualangan saat ini. Dan seketika Raka memberanikan diri menghubungi Amoy.

“Amoy, Raka lagi di Jatinangor nih”

Satu, dua, hingga lima detik. Akhirnya Amoy membalas chat Raka hingga membuatnya tersenyum senang.

“Waaah, lagi ngapain? Sama siapa?”

Iseng aja sih pengen tau aja Jatinangor, sendirian nih hehe”

“Nanti nginep dimana?”

“Ah paling di kost-an Joy aja. Amoy sibuk ga?”

“Mmmm aku lagi jadi panitia ospek kampus sih”

“Oooh gitu... Tadinya pengen ngajak ketemu

“Iya nih udah lama banget ya ga ketemu, gimana kalo entar malem aja? Beresin ospek dulu nih sampe magrib”

 “Ayo banget! Hehehe... Ketemuan dimana nih?”

“Di pizza hut Jatos aja”

“Apaan tuh Jatos?”

“Jatinangor Town Square, Ka”

“Oke siaaaaaaaap! Nanti kabarin lagi ya. See u”

Betapa senangnya Raka ketika, ternyata Amoy mau diajak bertemu. Tubuh Raka yang lelah menjadi segar kembali setelah nyaris enam jam perjalanan. Betapa pengaruh Amoy bagi Raka begitu besar. Sebesar bus DAMRI yang Raka tumpangi.


***


Pukul delapan malam, meja nomor dua pinggir jendela. Raka masih saja kaku, Amoy selalu tersenyum. Waktu tak pernah mundur, mereka yang tak pernah maju. Jika ada yang tak berubah, mungkin Raka yang terus asyik berpetualang menyelami perasaan Amoy. Jika ada yang menjadikan Raka bodoh, mungkin cinta, yang masih ada.

Obrolan-obrolan disudut dekat jendela itu terkadang menghadirkan tawa renyah. Namun ada saat dimana mereka hanya saling diam.Raka berharap semoga Amoy tak bosan walau sudah satu setengah jam. Hingga akhirnya pada bagian paling Raka tunggu, memberikan kado kepada Amoy.

 “Ya ampun Raka... Aku kira kamu lupa... Makasih banyak yaaaaa”

Raka begitu senang se-senang-senangnya, tersenyum ikhlas se-ikhlas-ikhlasnya.. Mari berhitung, satu, dua, tiga, empat.... lima! Tepat pada hitungan ke lima raut wajah Raka berubah menjadi kusut seperti bus DAMRI angkatan tua.

“Ka, udah malem nih.. Aku pulang ya, udah dijemput cowo aku...”

Dan Amoy berlalu begitu saja.
Untuk kedua kalinya Raka mengetahui jika Amoy sudah ada yang punya. Raka tidak melankolis, hatinya kuat. Kejadian malam ini akan membuatnya semakin berusaha menyelami dalamnya hati Amoy. Dan Raka senang menduga, bahwa kelak di Jatinangor ini Amoy akan menunggunya. Petualangan Raka tak berhenti di sudut dekat jendela. Raka lebih senang berpetualang mengejar perempuan pujaannya, walau ego ingin memiliki sepenuhnya. Raka tak mempersoalkan seberapa jauh jarak, seberapa banyak pengorbanan, dan seberapa besar Amoy menyayangi pacarnya. Yang Raka persoalkan saat ini adalah dia teringat sebuah lagu dan terus mengiang di kepalanya.

Sudah jangan ke Jatinangor
Masih ada kota lainnya
Perempuan tak cuma dia
Ada tiga milyar dua puluh satu

Ada tiga milyar dua puluh satu wanita, dan Raka tetap ingin Amoy. Petualangan Raka belum berakhir. Karena bagi Raka, selain nafas, ada tentang Amoy yang tak dapat lepas.

Lalu, Raka kembali tersenyum.


*Terinspirasi dari lagu Sudah Jangan ke Jatinangor – The Panas Dalam

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar