Diamku; Semoga kamu tahu...
Dentingan kata demi kata terasa
berat dalam jiwaku yang lara. Senyapnya malam membuat pilu tulang-tulang
ragaku. Dadaku sesak dengan sejuta kekesalan, kekecewaan karena cinta. Aku
pejantan yang lemah diantara himpitan cinta, kelabu diantara kenyataan.
Malam itu, pukul 11.54 malam
hari, aku baru menyelesaikan sebuah cerpen dan mencetaknya dangan sebuah printer yang sudah usang. Sementara dua
gelas kopi, segelas air putih, sebotol sirup multivitamin, dan sebuah asbak
dengan satu, dua, tiga, hmm….tujuh puntung rokok berserakan di sisi kiriku.
Aku
bangkit dari duduku dan meregangkan otot-otot punggungku yang kaku dengan
berbaring di sofa. Sambil mengisap sebatang rokok, aku melamun dengan
angan-anganku. Begitu indah lamunan itu, penuh harapan penuh kebahagiaan serta
penuh keindahan. Seketika aku terbangun dari lamunan itu, ibuku keluar kamar
dan memergoki aku yang sedang nikmatnya merokok. Hmm… sial aku ketahuan merokok
oleh ibu. Entah apa yang ada dipikiranku, ketika ibu marah dengan suara sumbang
yang membuat hatiku gemuruh.
Akhirnya setelah puas memarahi
aku, ibu masuk kembali ke dalam kamarnya. Aku terdiam sejenak, tanpa piker
panjang aku arahkan kakiku keluar rumah. Hatiku jadi kalut dengan amarah ibu di
rumah. Ah sudahlah. Aku lihat bungkus rokok hanya tersisa dua batang saja.
Aku pergi ke rumah Gunawan. Dia
teman baikku, meski usianya berbeda 6 tahun dengan usiaku. Rumahnya tak jauh
hanya belasan meter dari rumahku. Ku ketuk pintu rumahnya, sepi. Pintu itu
tetap tertutup. Kurebahkan tubuhku di kursi yang terleteak di terasnya.
Untungnya tak beberapa lama dia dating. “Masuk” katanya dengan mata yang masih
berat untuk dibuka. Di kamar, Gunawan langsung tidur. Kurebahkan tubuhku
disampingnya. Kulihat langit-langit kamar dengan pikiran kosong sampai aku
terlelap tidur.
Setelah kejadian malam itu
hampir setiap malam libur aku keluar rumah. Suatu malam aku ikut dengan abangku
ke sebuah tempat di kota. Semula aku kira dia mengajakku ke tempat kerjanya
untuk membantu dia membawa berkas seperti pekan lalu. Ternayata ia mengajakku
ke sebuah kafe. Kami duduk di bangku sebelah timur dari pintu masuk. “Pesen aja
apa yang lu suka, abang bayarin” dengan rona baik hati dia berkata kepadaku.
Terlintas dalam pikirku nampaknya abangku satu-satunya ini baru saja gajian.
Aku
memesan secangkir kopi hangat, orang Italia menyebutnya Cappuccino begitu juga aku ketika memesannya kepada pelayan. Lantas
abangku berpindah tempat duduk. Dari kejauhan ia hendak menghampiri rekan-rekan
kerjanya yang duduk didekat meja bar. Kini aku sendiri duduk disini, sambil
menikmati kopi yang perlahan hendak dingin. Aku duduk dekat jendela kaca,
melihat keluar ternyata gerimis membasahi bumi malam itu. Dapat dihitung orang-orang
yang ada di dalam kafe itu. Sayup-sayup If
You’re Not The One mengalun dari suara Daniel Bedingfield.
Aku melihat seorang perempuan
duduk di meja paling sudut. Ia memandang rinai gerimis seakan-akan menghitung
jarum-jarum air yang turun satu per satu itu dengan tatapan kosong. Wajahnya
cantik tapi muram. Tubuhnya molek tapi bahasa tubuhnya jelek sekali. Ia menggigit jari-jarinya, ia juga
mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya, ia juga gelisah bergantian
menyilangkan kedua belah betisnya yang langsing.
Jam menunjukkan pukul 23.00
malam. Saatnya malam makin dingin, kafe mulai sepi. Aku pun beranjak barpindah tempat, mendekati
meja perempuan itu. Ya, sekitar berjarak 3 meter dariku. Berharap gadis yang
mencuri perhatianku sedari tadi dapat
menoleh melihatku. Dan ternyata benar, dia menatapku walau hanya sekilas saja.
Awalnya aku ingin menyapanya, hanya sekedar bilang “hai” dan bertanya-tanya
banyak hal dengannya. Tapi entah kenapa aku hanya bisa duduk di kejauhan,
sambil memperhatikan dia yang sedang makan, rambutnya yang hitam lurus diikat
gaya ekor kuda, dengan poni yang sedikit menutupi alisnya, matanya yang putih
berseri-seri, seakan penuh keceriaan terpancar dari matanya.
Sesekali aku tersimpuh malu dan
aku palingkan mukaku kearah yang lain, saat dia sekilas melihatku. Tak lama
kemudian dia meninggalkan tempat duduknya. Yah, dia pergi keluar dari kafe
menjauh dari pandanganku. Aku hanya bias menatapnya dari jendela kaca diatara
gerimis yang sedari tadi mengguyur membasahi bumi. Lantas aku menundukkan
kepala dan berkata dalam hati “halah, mungkin bukan kesempatanku untuk
mengobrol dengannya”.
Satu minggu sudah terlewati, aku
kembali ke kafe itu. Berharap bertemu perempuan yang sempat membuat perhatianku
hanya tertuju padanya. Aku melihat sosok perempuan yang persis seperti pekan
lalu. Aku memberanikan diri menghampirinya. Ternyata memang benar dia. “Ehm,
boleh aku duduk disini?” dengan malu-malu aku bertanya padanya. “Silahkan” dia
menjawab dengan begitu singkatnya. Aku bingung harus berbuat apa, untuk sekedar
perbincangan basa-basi pun aku tak berani.
Dengan gugup dan betapa malunya,
tiba-tiba aku meminta nomor handphonenya.
Aku begitu dengan mudah berkata seperti itu. Keringat dingin yang aku rasakan.
“Huuh, aku belum pernah seberani ini” dalam pikirku. Dengan senyumnya yang
manis dan khas dia memberikan nomor handphone
yang dia tulis di bill café itu. “Sms
aja, pasti aku jawab ko. Aku tau kamu malu banget” ucapnya kepadaku yang memang
begitu malu. Aku tak menduga semudah ini. Lantas dia pergi meninggalkan kafe.
Beberapa hari setelah itu, aku
tak pernah sms dia. Aku belum begitu
berani. Aku malu dengan perkataannya malam itu. Tiap hari aku hanya menghafal
nomornya saja. Sudah lama aku tak ke kafe itu lagi, aku rindu sosok perempuan
itu. Aku rindu tapi aku malu. Semenjak saat itu aku tak pernah pergi ke kafe
itu lagi.
Sedikit demi sedikit aku
memberanikan diri. Aku coba mendekati dia lewat sms, aku berharap semoga dengan itu aku bisa mengenalnya dan
menjadi temannya. Aku berpikir, kalimat apa yang sebaiknya aku sms-in ke dia. Tidak kusangka ternyata
hanya untuk sekedar mengirim sms saja
butuh pertimbangan ini itu. Bagaimana kalau nanti dia tak membalas sms ku? Apa
yang harus aku lakukan?. Akhirnya aku mengirimkan sms yang biasa dikirimkan
oleh teman-teman.
"Hai,
malem"
Setelah beberapa
lama ku kirim sms itu, tak ada satu pun tanda-tanda dia membalas sms ku.
Setelah lama ditunggu-tunggu tak ada juga balasan sms darinya. “Huuuuh”, aku
hanya bisa menghela nafas dan berkata "mungkin dia lagi gak punya pulsa,
mungkin di lain kesempatan aku bisa sedikit sms-an dengannya".
Satu bulan sudah terlewati, sms
yang aku kirimkan sekarang sesekali dibalas olehnya, meskipun hanya membalas
dengan kata "iyah" atau sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan ku,
tapi itu sudah cukup membuatku tersenyum senang. Setidaknya aku bisa tahu apa
yang sedang dia lakukan saat itu, begitu pikirku. Begitulah hari-hariku,
mengintai dia seperti seorang detektif, atau mungkin kelihatan seperti
penjahat, dan malamnya sms-an, itu pun kadang dibalas kadang tidak. Aku ingin
sekali bertatap muka dengannya, makan berdua di kafe itu, lalu jalan-jalan
sekitar taman kota. Itu selalu ada dalam khayalanku. Dia tak begitu hafal
dengan raut muka ku, tapi aku begitu mengingat raut wajahnya. Setiap kali aku
duduk di kafe dan dia berjalan melintas di depanku, dalam khayalanku aku
menghampirinya dan kita mengobrol berdua sampai waktu tak tentu. Tapi sayangnya
itu hanya ada di khayalanku, "mungkin lain kali ada keberanian dalam
hatiku untuk menyapanya". Hmm, mungkin juga ia sudah lupa padaku, orang
yang meminta nomor handphone padanya.
Kulihat dia berjalan melintas di
depanku.
"Hey",
sapaku.
Aduh, kenapa aku
menyapanya, sekarang dia menoleh ke arahku, apa yang harus aku katakan
sekarang. Akhirnya aku memutuskan untuk Let
It Flow saja.
"Hey, emmm
aku yang semalem sms kamu",
"Ooh siapa
ya??", tanya dia
"Aku Juna,
yang suka nge-sms kamu kalo malem"
"Ooh iya
iyah aku inget"
"Emm.....yasudah,
aku kesana dulu yah".
Aku
berlalu, dia pun berlalu. Padahal aku ingin sekali berbincang lebih lama
dengannya. Setelah agak jauh kami berlalu, aku menengok kembali ke belakang,
terlihat punggung dia dan rambutnya yang terberai cantik. Ingin sekali aku
mengejarnya dan berkata "hei, makan bareng yuk!!", tapi aku hanya
bisa melihatnya dari belakang. Sekali lagi aku telah di pecundangi oleh diriku
sendiri.
Waktu berlalu dan berlalu, aku
kini mengenali dia lebih jauh. Hubungan kami memang tidak dekat, tidak juga
jauh, tapi setidaknya dia mengetahui siapa aku. Aku memasang fotonya di wallpaper handphone-ku, foto itu aku
dapatkan dari jejaring sosial, sesekali aku memandang ke foto itu, lucu sekali
wajahnya, senyumnya yang khas dan poninya yang terurai sedikit menutupi alis
dan berujung di telinganya.
Beberapa
bulan berlalu, selama itu dia belum tahu tentang perasaanku. Seperti biasa di kafe
itu, aku hanya melihatnya dari kejauhan dan sesekali menyapanya, dan pada
akhirnya aku hanya bisa memaki diriku yang hanya bisa diam dibalik punggungnya.
Seaindainya ia tahu, bahwa cinta ku tidak bisa dilihat dari luar, karena aku
hanya bisa diam memendam perasaan, tapi itu bukan berarti aku tidak
mencintainya. Aku justru sangat menyukainya, sangat mencintainya, tapi hanya
dalam diam. Bagiku tak apa seperti ini, karena diamku itu cinta.
0 komentar:
Posting Komentar